Secuil Cerita Pendidikan di Indonesia


Sebenarnya saya enggan membicarakan hal bertemakan pendidikan karena begitu kompleksnya hal-hal di dalamnya, takut terkesan menggurui ataupun naif karena hanya berdasarkan pengalaman pribadi yang sejak sekolah dasar sudah "terjamin" pendidikannya hingga perguruan tinggi seperti sekarang ini, tentu tidak dapat menarik suatu kesimpulan dari hanya pengalaman satu orang yang kebetulan tidak mengalami kendala berarti dalam mendapatkan akses pendidikan. Namun tulisan berikut akan membawa kita ke sebuah cerita pengalaman seorang mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia 2018 yang cukup tertarik dengan isu pendidikan. Murni hanya sebuah cerita dari hasil pengamatan yang nampak secara kasat mata dan hasil dari bincang-bincang bersama para guru dan warga sana.

Di Kampung Nagajaya, Desa Cikatomas, Kecamata Cilograng, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, bukanlah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), bukan juga Taman Kanak-kanak (TK) dan bukan pula kelompok bermain yang memiliki fasilitas antar jemput nyaman. Akan tetapi yang menjadi institusi pendidikan formal pertama anak-anak di Kampung Nagajaya adalah sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara Sekolah Dasar (SD), MI Nagajaya menjadi institusi pendidikan formal pertama bagi masyarakat Kampung Nagajaya.

Sekolah dasar yang menjadi institusi pendidikan formal pertama inilah yang memunculkan diskusi diantara kami yang selama pengabdiaan juga melakukan kegiatan mengajar di sekolah yang jumlah muridnya kurang dari 70 murid. Terdiri dari enam kelas, kelas satu selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan pada sesi refleksi di malam hari sembari merancang strategi untuk melaksanakan kegiatan esok hari. Perbincangannya seputar bagaimana mengkondisikan kelas yang anak-anaknya lari kesana kemari tidak mau diam, bagaimana memberikan materi sementara anak-anak belum bisa baca, bahkan belum mengerti huruf, jangankan mengerti, kenalpun ada yang belum mengenal huruf.

Kami “anak kota”, terheran-heran ketika membandingkannya dengan masa kecil kami ketika masuk Sekolah Dasar. Ketika masuk Sekolah Dasar kami sudah lancar membaca majalah bobo dengan cerita persahabatan Bona si gajah dan Rongrong si kucing. Tapi faktanya murid kelas satu di MI Nagajaya yang menjadi satu satunya “pilihan” orang tua untuk menyekolahkan anaknya ini belum bisa membaca, mengerti bahkan mengenal huruf pun belum. Sontak menimbulkan diskusi diantara kami bagaimana mengajarkan anak-anak yang masih senang bermain ini untuk membaca, atau paling tidak mengenalkan huruf.

Kelas satu kalau di dunia maya seolah menjadi trending topic twitter ketika mulai membicarakan bidang Pendidikan saat evaluasi harian. Bagaimana mengajarkan pengetahuan seperti ilmu alam dan wawasan nusantara jika huruf pun belum dikenali anak-anak. Jika cara belajar yang kami gunakan hanya mengandalkan kemampuan baca dan tulis hal tersebut menjadi tidak mungkin dilakukan.
Karena itu kami perlu metode-metode pembelajaran yang tidak mengharuskan bisa baca tulis untuk memahami materi.
Mungkin dari bersembilan orang peserta K2N “anak kota” ini memiliki pengalaman yang hampir sama ketika masa pertama kali masuk sekolah dasar yakni sudah mahir membaca cerita Bona si pemilik belalai multifungsi. namun pengalaman saya ketika masuk sekolah dasar bisa dibilang sama dengan anak-anak kampung Nagajaya, belum mampu membaca belum mengenal huruf, Sekolah Dasar menjadi awal, benar-benar menjadi dasar pertama kali saya menegnal dunia pendidikan formal, sehingga mungkin hanya saya yang tidak terkejut dengan murid-murid kelas satu MI Nagajaya yang belum mengenal huruf, karena sayapun dulu seperti itu.

Terlepas dari membanding-bandingkan dengan masa lalu masing-masing, faktanya orang tua mengandalkan sepenuhnya peran sekolahan dalam mendidik anak-anaknya. Sehingga keberadaan sekolah dasar atau sederajat di Kampung Nagajaya sangat penting.
Keberadaan MI Nagajaya sebagai satu satunya institusi pendidikan formal yang berada di kampung Nagajaya seolah menjadi satu-satunya harapan bagi para orang tua di sana untuk menitipkan anaknya agar dididik diajarkan ilmu pengetahuan oleh para bapak ibu guru.
MI sendiri merupakan pendidikan dasar setara SD dalam hal kurikulum yang disampaikan oleh departemen pendidikan nasional SD umum dengan Madrasah Ibtiaiyah memiliki struktur, alokasi dan metode yang sama, hanya muatan dalam pelajaran agama yang membedakannya. Seperti yang kita ketahui pendidikan pada tahap dasar memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk dan mengarahkan anak didik menjadi manusia seutuhnya yang akan bekerja sama dengan orang lain.
Untuk mendukung proses tersebut tentu diperlukan adanya media atau sarana dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah. MI Nagajaya sebagai Madrasah Ibtidaiyah yang berstatus swasta dibawah Kementrian agama memiliki gedung dengan empat ruangan diantaranya satu ruang guru dan tiga ruang kelas. Iya, tiga ruang kelas yang hanya dipisahkan oleh papan triplek untuk membedakan dua kelas dalam ruangan yang sama.


Keberadaan dua kelas dalam satu ruangan yang sama tentu akan sangat mengganggu, memecah fokus anak-anak dalam proses memahami materi yang diberikan oleh guru. Suara yang saling saut sautan belum lagi ketika kelas sebelah sedang mendapatkan materi pelajaran yang dirasa lebih menyenangkan dan terlihat lebih seru, maka kelas sebelahnya penasaran untuk melihatya. Keterbatasan ruang kelas ini menjadi tantangan tersendiri bagi para guru dalam mengkondisikan suasana kelas dan menarik perhatian anak-anak. Dengan begitu kondisi ruang kelas seperti itu mau tidak mau memaksa guru untuk lebih kreatif dalam menyampaikan materi.

Kehadiran guru menjadi satu satunya penentu apakah anak murid mendapatkan haknya di sekolah, namun dari pengamatan selama kurang lebih tiga puluh hari di bulan Agustus, kami mendapati bahwa tidak setiap hari guru-guru datang hadir mengajar di kelas, tidak jarang aak-anak berangkat ke sekolah jam tujuh dan di sekolah hingga jam sepuluh hanya untuk bermain dan jajan di warung depan sekolah. Memang tidak ada salahnya datang ke sekolah untuk bersosialisasi atau mungkin belajar secara mandiri, karena kami tidak tahu juga kemungkinan-kemungkinan yang mereka dapatkan ketika datang ke sekolah meskipun tidak ada guru yang hadir.

Kehadiran guru mungkin menjadi sorotan utama kami selain kondisi gedung sekolah yang belum cukup layak. Atas dasar keprihatinan melihat anak-anak tidak mendapatkan materi dari guru kamipun berinisiatif untuk mengobrol bersama beberapa guru, dari sekian guru hanya satu guru yang bertempat tinggal di kampung Nagajaya, pak Karna namanya, beliau sendiri telah mengajar di MI selama kurang lebih dua belas tahun, selama itu beliau memegang kelas satu, menurut pengakuan beliau juga kalau bisa ingin berhenti mengajar di MI, karena masih harus mengurus ladang dan pekerjaan di rumah. Namun beliau dilema karena dengan melihat kondisi guru dan sekolah masih sangat membutuhkan kehadiran pak Karna.
Jadi posisi pak Karna saat ini bisa juga dibilang sebagai backup guru-guru yang lain ketika berhalangan hadir karena rumah pak karna yang aksesnya paling dekat dengan sekolahan. Ketidakhadiran guru di MI Nagajaya juga dikarenakan akses yang cukup sulit, kondisi jalan menuju Nagajaya memang rusak parah, jalan aspal yang sudah tidak terlihat lagi aspalnya, hanya tinggal batuan bercampur tanah dan berdebu saat kemarau. Belum lagi ketika hujan, tidak jarang guru-guru yang terpaksa mutar balik ketika kendaraan mereka tidak sanggup menerjang jalanan menuju Nagajaya. Namun ada juga mereka yang rela untuk hadir dengan menitipkan kendaraannya kemudian jalan kaki sejauh kurang lebih tiga kilometer ditemani lumpur-lumpur licin.
Kadang saya melihat kehadiran mereka para guru di sekolah sudah merupakan suatu bentuk kerelawanan sang guru. Sebuah apresiasi untuk mereka (guru-guru) yang sudah mau hadir di sekolah, namun jika melihat secara profesional sudah menjadi kewajiban mereka untuk masuk ke kelas dan mengajar di kelas. Memang kehadiran guru di sekolah tidak pasti mereka mengajar di kelas, tidak jarang melihat para guru duduk-duduk mengobrol santai di warung depan sekolah sementara anak-anak bermain main di dalam kelas dan mengikuti bel sekolah ketika mereka harus

keluar kelas atau pulang ke rumah. Saat pertama dugaan dugaan negatif mengenai perilaku guru membuat kami geram, tapi kami harus melihat faktor-faktor lain alasan dibalik perilaku guru yang demikian. Setelah kami mengobrol santai di warung depan sekolah bersama para guru akhirnya kami mengetahui satu persatu alasan dibalik ketidakhadiran guru pada waktu-waktu tertentu.
Alasan kesejahteraan guru seakan menjadi alasan klasik yang juga saya sering dengar di media massa, mereka (para guru) mengaku, gaji yang didapatkan tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menurut salah satu guru, gaji yang mereka dapatkan dibayarkan setiap tiga bulan sekali yang membuat mereka kebingungan jika hanya mengandalkan uang dari hasil mengajar di MI Nagajaya.
Tentu dari dalam hati terdalam para guru tidak masalah, mereka tulus mengabdikan dirinya dalam medidik anak-anak di kampung Nagajaya. Namun realitanya mereka harus menghadapi tuntutan ekonomi, terlebih merekalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Kembali kami mengakui ketulusan dan pengorbanan para ibu bapak guru yang sudah mau mengabdikan dirinya mendidik anak -anak kampung nagajaya perlu diapresiasi.

Kehadiran kami di sekolah juga mendapatkan sambutan baik dari para guru dan kepala sekolah, dalam mengajar anak anak murid di sekolah kami menggunakan metode belajar yang menurut kami menyenangkan dibandingkan dengan cara guru di MI yang menurut generasi kami sudah lawas dan tidak jaman lagi mengajar anak-anak dengan cara demikian. Lagi-lagi itu hanya pemikiran sok tahu kami belaka. Mahasiswa yang tidak ada satupun yang berlatar belakang ilmu pendidikan, kami hanya bermodalkan pengalaman masa lalunya kemudian membandingkanya. Sebetulnya tidak pantas jika mengatakan metode yang dilakukan guru-guru di sini ketinggalan jaman, membosankan dan sebagianya, perlu waktu dan pengamatan yang lebih mendalam untuk menyimpulkannya.
Kondisi sekolah dengan ketiadaan guru-guru di kelas juga telah disadari oleh para guru, mereka tidak mencoba untuk mengelaknya hanya saja mereka berpesan bahwa kondisi yang dialami sekolahan ini memiliki berbagai faktor, tidak bisa memojokkan salah satu pihak.
Dengan segala kekurangannya, MI Nagajaya memiliki potensi yang tinggi yakni semangat anak-anak yang luar biasa dalam usha memperoleh ilmu pengetahuan untuk bekal masa depan mereka.

Komentar